Minggu, 31 Oktober 2010

Kebudayaan Jawa




     
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu sosok kebudayaan yang tua. Kebudayaan Jawa mengakar di Jawa Tengah bermula dari kebudayaan nenek moyang yang bermukim di tepian Sungai Bengawan Solo pada ribuan tahun sebelum Masehi. Fosil manusia Jawa purba yang kini menghuni Museum Sangiran di Kabupaten Sragen, merupakan saksi sejarah, betapa tuanya bumi Jawa Tengah sebagai kawasan pemukiman yang dengan sendirinya merupakan suatu kawasan budaya. Dari kebudayaan purba itulah kemudian tumbuh dan berkembang sosok kebudayaan Jawa klasik yang hingga kini terus bergerak menuju kebudayaan Indonesia
Masyarakat Jawa (bersifat khusus) yang terimplementasi dalam tujuh sub bab yaitu identifikasi, angka-angka dan fakta demografis, bentuk desa, mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan dan religi.Dimulai dengan memberikan identifikasi tentang kebudayaan Jawa itu sendiri. Jawa sebelum adanya pembagian daerah administratif seperti sekarang ini hanyalah terbagi dalam dua wilayah saja yaitu Pesisir dan Ujung Timur. Pada tahun 1755 kebudayaan Jawa berpusat di daeran Yogyakarta dan Surakarta.
Karena mencakup wilayah yang sangat luas, maka banyak variasi dalam kebudayaan Jawa sesuai letak geografisnya. Variasi tersebut tercermin dalam perbedaan istilah teknis, dialek bahasa, bentuk arsitektur bangunan. Ditinjau dari segi bahasa saja, kebudayaan Jawa mempunyai strata-strata tersendiri dalam bahasa kesehariannya dan mempunyai aturan kepada siapa bahasa tersebut boleh digunakan semisal bahasangoko dipakai untuk bebicara dengan orang yang sudah akrab atau usianya lebih muda,ngoko sendiri dibagi menjadi dua yaitu ngoko  andap dan ngoko lugu. BahasaKrama digunakan untuk orang yang belum kenal akrab atau untuk orang yang lebih tua.
Angka-angka dan fakta demografis yang menyebutkan bahwa pada tahun 1930 penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pulau Madura sebanyak 30.321.000 dengan kepadatan penduduk rata-rata 402 per km², sedangkan pada tahun 1961, penduduk di ketiga daerah tersebut adalah 42.471.000 dengan kepadatan penduduk rata-rata 567 per km². Pada bagian ketiga, bentuk desa sebagai tempat kediaman asli masyarakat Jawa adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara administratif desa langsung berada di bawah kekuasaan pemerintahan kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap dukuh dikepalai kepala dukuh. Rumah-rumah desa biasanya dibatasi oleh pagar tanaman atau pagar bambu saja. sebuah dukuh dan dukuh lainnya dihubungkan oleh jalan-jalan desa yang lebarnya sering tidak lebih dari dua meter. Pusat pemerintahan desa ada di balai desa, dimana dijadikansebagai tempat administrasi pemerintahan desa dan untuk menampung kegiatan- kegiatan masyarakat.
Lebih spesifik lagi, dijelaskan tentang perbedaan arsitektur rumah-rumah di Jawa. Secara garis besar arsitektur rumah Jawa dibedakan menurut bentuk atapnya, ada yang dinamakan rumahlimasan, rumahserotong, rumahjoglo, rumahpenggangepe, rumahdaragepak, rumah macan njerum, rumah klabang nyander, rumahtajuk, rumah kutuk ngambang dan rumahsinom. Dari beberapa gaya arsitektur tersebut, limasan, serotong dan joglo adalah bentuk yang paling sering ditemui.
Menjelaskan mengenai mata pencaharian hidup masyarakat Jawa. Selain sumber penghidupan yang berasal dari pekerjaan- pekerjaan kepegawaian, pertukangan dan perdagangan, bertani adalah juga merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat Jawa, terutama mereka yang hidup di pegunungan atau perbukitan. Tanaman yang banyak mereka tanam adalah padi, ketela pohon, jagung, ketela rambat, kedelai, kacang tanah, kacang tunggak dsb.
Menguraikan sistem kekerabatan masyarakat Jawa yang berdasarkan prinsip Bilateral. Sedangkan sistem istilah kekerabatannya menunjukkan sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Terdapat beberapa aturan tentang perkawinan yang berhubungan dengan kekerabatan, yaitu larangan menikah bagi dua orang yang masih saudara sekandung, apabila mereka sepupu (apabila pihak laki-laki lebih muda dari pihak perempuan menurut garis ibunya).
Sistem kemasyarakatan masyarakat Jawa yang ternyata masih ada pembedaan antara golongan priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dan golongan kedua yang disebut dengan wong cilik seperti petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya. Namun ada lagi satu penggolongan berdasarkan agama, yaitu golongan santri dan golongan agama kejawen. Golongan pertama merujuk pada orang-orang beragama Islam yang taat dalam menjalankan perintah agamanya. Golongan kedua adalah golongan yang terdiri dari orang-orang yang percaya pada agama Islam, namun mereka kurang patuh dalam mejalankan perintah agama Islam dan mencampurkannya dengan kepercayaan jawa kuno.
Menjelaskan mengenai religi masyarakat Jawa. Keterangan mengenai dua golongan, yaitu santri dan golongan agama kejawen sudah ada di bagian keenam, namun kita coba lihat kembali mengenai kepercayaan asli masyarakat Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa percaya bahwa hidup manusia telah diatur dalam alam semesta sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersikapnerima, yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Inti pandangan alam pikiran mereka tentang kosmos tersebut, baik diri sendiri, kehidupan sendiri maupun pikiran sendiri, telah tercakup di dalam totalitas alam semesta atas kosmos tadi. Itu sebabnya manusia hidup tidak terlepas dengan lain-lainnya yang ada dalam jagad raya. Jadi apabila lain hal yang ada itu mengalami kesukaran, maka manusia akan menderita juga.
Mencoba mengidentifikasi masalah pembangunan dan modernisasi. Suatu kelemahan dari mentalitas rakyat pedesaan Jawa, yang merupakan penghambat besar dalam  pembangunan adalah sikapnya yang pasif terhadap hidup. Tekanan jumlah penduduk yang sudah mulai naik dengan laju sangat cepat sejak satu abad yang lalu merupakan salah satu penghambat pembangunan. Dengan tanah yang terpecah-pecah kecil kemudian masih harus dipecah lagi dengan sistem bagi hasil, maka sukar bagi sseorang untuk menghasilkan surplus yang sulit ditanam lagi untuk modal pembangunan. Tiap-tiap produksi seolah-olah hilang dalam sekejap mata. Pada akhir tulisannya, menekankan pentingnya perubahan pada mentalitas masyarakat Jawa dan diperlukannya pemimpin yang kreatif untuk memimpin masyarakat.  


sumber 
wikipedia.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar